Rabu, 20 Maret 2013

MAKANAN ENAK = PERSEPSI



MAKANAN ENAK = PERSEPSI

Oleh: Dedi Alfiandri Allison

Foto: Imelda Allyson





“Anda adalah apa yang anda makan.” Saya banyak terkesan oleh pernyataan itu. Tapi setiap manusia adalah unik, kan? Karena itu saya juga mencoba mengekspresikan persepsi saya tentang makanan dan seputar makanan. Makanan enak itu adalah masalah persepsi.

Mengenai kriteria makanan yang saya rasa cocok untuk saya, saya menerapkan kriteria sendiri, sehingga ada juga kawan, mungkin juga anda yang membaca tulisan ini, merasa saya (agak) ribet dalam hal makanan. Setidaknya ada 5 (lima) syarat yang hampir selalu saya tetapkan/terapkan. Setiap makanan haruslah mempunyai:

  1. Nama yang mewakili bahan dan menggugah selera,
  2. Bentuk yang bagus,
  3. Aroma yang  memikat,
  4. Rasa yang pas di lidah,
  5. Dampak ikutan yang tidak menimbulkan keluhan sakit atau alergi, atau hal-hal lain sebagai dampak memakan makanan tadi.

1. Nama

Nama menggugah selera dalam hal ini berarti nama harus mewakili bahan hidangan yang akan dihidangkan. Nama harus menerangkan bahan makanannya secara jelas. Nama juga membangun persepsi saya, sehingga bisa menggugah selera atau malah mematikannya sama sekali. Karena itu saya sulit menerima makanan kalau namanya ‘tongseng’, karena yang terbayang di pikiran saya adalah sebuah tong dari seng, yang tidak lain adalah tong sampah atau dust bin. Kalau mau menghidangkan makanan itu juga, sebaiknya tidak usah memberitahu saya apa nama makanan itu, atau ganti saja namanya dengan ‘sop kambing’, misalnya.

Saya juga sulit untuk menerima nama ‘oseng-oseng’ karena terkesan tidak dibuat dengan serius. Hanya iseng-iseng saja.

Persepsi saya juga banyak diganggu oleh bahan asal makanan, yang menurut persepsi saya seharusnya tidak dimakan. Seperti saya tidak bisa menerima kuda sebagai bahan makanan, karena di dalam benak saya, yang namanya kuda adalah kendaraan, tunggangan. Saya juga tidak bisa menerima memakan daging anjing, karena dalam benak saya anjing itu adalah sahabat paling setia untuk manusia, the man best friend. Saya tentu tidak bisa makan daging kucing, karena kucing itu adalah untuk disayang-sayang. Yang barusan itu contoh-contoh ekstrimnya.

Atau yang agak parah juga, saya tidak bisa memakan makanan berbahan hewan, kalau saya sudah ketemu dulu hewannya sewaktu masih hidup. Seperti saya tidak bisa memakan daging ayam piaraan sendiri. Saya tidak bisa memakan kepiting (rajungan? Mohon dibenarkan kalau saya salah), yang saat sebelum memakannya, kita disuruh memilih-milih dulu. Saya tidak tahan melihat matanya yang melirik-lirik saya. Saya tidak mungkin memakannya. Sudah serasa saudara sendiri.

2. Bentuk

Mengenai bentuk, tentu harus bisa membangkitkan selera makan. Makanan harus jelas bentuknya, dan jangan sampai memberikan persepsi aneh-aneh di kepala saat hendak memakannya. Itu mengapa saya kalau memakan bubur ayam, sejak dari awal sampai akhir tidak pernah mengaduknya. Saya selalu makan dengan menyendok dari bagian atas (topping) hingga ke dasar mangkok, yang dengan cara itu bisa mempertahankan bentuk bubur ayam yang punya topping, punya bubur, dan punya suwir-suwir ayam dan juga kacang yang masih jelas bentuknya. Kalau sampai diaduk, pikiran yang berkecamuk di kepala saya bisa macam-macam, karena adukan bubur ayam itu bisa terkesan seperti sesuatu yang sudah dicerna di dalam perut, yang bisa membuat saya muntah hanya dengan membayangkannya saja.

3. Aroma

Kemudian, aroma adalah pertimbangan berikutnya. Makanan dapat dilihat, dapat dicium juga aromanya. Untuk itu, aroma makanan harus menggugah selera, harus segar, dan membangkitkan selera makan. Saya tidak bisa memakan makanan yang aromanya seperti kotoran, seperti yang ada pada makanan ‘tahu busuk’ yang katanya enak tapi baunya busuk sekali itu. Saya tidak akan memakan itu. No way!

Termasuk saya juga tidak akan bisa memakan makanan yang diberi campuran yang katanya penyedap, tetapi bagi saya baunya justru seperti bau kaki pelari jorok yang telah berlari-lari selama seminggu, dan selama seminggu itu pula dia tidak pernah mencuci kakinya. Jadi penyedap seperti sambel terasi, mohon maaf... saya sulit untuk menerimanya.

4. Rasa

Kemudian masuk ke hal rasa. Rasa hendaknya pas di lidah. Tidak terlalu pedas, tidak terlalu manis, tidak terlalu asin, tidak terlalu asam. Saya hampir bisa menerima rasa apa saja, tetapi saya tidak bisa menerima rasa yang keterlaluan.

Jadi saya akan menghindari tempat makan yang katanya terkenal akan kepedasan masakannya, atau terkenal karena manisnya, atau terkenal karena asem manisnya. Kalau berlebihan, kayaknya, bukan saya, deh..!! Saya paling tidak suka makan dengan air mata bercucuran, ingus meleleh ke mana-mana, dan keringat menetes-netes dari kepala dan di seluruh badan.

5. Dampak Ikutan

Dan yang terakhir tentang dampak ikutan dari memakan makanan tadi. Semua makanan yang saya makan tadi, baru bisa saya anggap sesuai dengan selera saya kalau makanan itu tidak menimbulkan keluhan sakit atau alergi, atau hal-hal lain sebagai dampak memakan makanan tadi.

Sehingga, khusus untuk saya, saya mencoba menghindari makan makanan laut dalam jumlah banyak, karena bisa memicu gatal-gatal dan ruam kulit. Saya juga menghindari makan duren lokal karena efek bau mulut dan sakit perut yang kadang-kadang timbul kepada saya. Juga menghindari makan petai dan jengkol bila saya tidak punya hari libur yang cukup panjang untuk memulihkan bau mulut dan sakit perut, hehehe. Juga saya akan menghindari makanan yang “terlalu”, terlalu manis, asam, asin, pedas, terlalu banyak juga jangan, karena ujung-ujungnya pasti sakit perut dan gangguan pencernaan lainnya. Jadi saya tidak akan tertarik untuk menikmati keripik pedas yang katanya mempunyai rasa pedas bertingkat-tingkat hingga tingkat dewa itu.

Demikianlah... makan di suatu ketika adalah cara untuk mempertahankan hidup. Namun di saat lain makan adalah sebuah cara mengekspresikan diri, mengaktualisasikan diri. Makan terkadang adalah suatu cara untuk mempertahankan kewarasan di saat hal-hal lain terlalu sulit untuk dicerna. Maka mencerna makanan mungkin lebih mudah daripada mencerna masalah di luaran sana.

Saya sebetulnya akan memasukkan juga tempat sebagai bagian penggugah selera makan saya. Akan tetapi karena biasanya saya mencari makanan, jarang mencari suasana, maka pertimbangan tempat saya kesampingkan dulu. Mungkin akan kita bahas di lain kesempatan.

Selamat makan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar